Cerpen amatir :)


Anak Lelaki dan Elang

Aku terbangun. Setelah lama tinggal di dalam tempat dengan segala unsur hara yang terpenuhi. Tubuhku memanjang. Tanganku bertambah. Kakiku menjalar dengan lincah. Menembus lapisan batuan, gesit mencari makanan. Ku lihat ada sosok yang tangannya mirip denganku. Dengan telapaknya yang lebar hanya dia terlihat lebih besar dan lebih banyak telapaknya.
            Suara  tangis  membuyarkan pikiranku tentang sosok besar itu. persis di depan ku, ku lihat sebuah benda yang terbentuk dari sesuatu yang mirip dengan tubuh sosok besar itu. sepertinya suara itu berasal dari dalam benda itu. seketika ku rasakan getaran yang amat hebat. Aliran yang begitu cepat dari kakiku menuju kepalaku. Membuatku terpejam sejenak. Selepas itu ada hal yang berbeda. Entah apa yang jelas aku menjadi tau kalau benda di depanku disebut rumah, aku tau bagaimana cara memanggil benda-benda yang sekarang ku tau itu adalah saudara-saudaraku.
            Seorang laki-laki dengan garis wajah yang cukup menunjukkan lamanya ia hidup di alam ini tengah menggendong seorang bayi yang amat lucu. Aura kebahagiaan begitu terpancar. Membuatku ikut tersenyum bahagia melihatnya.
            Hujan, sinar mentari, pelangi, angin yang berembus pelan, atau pun yang datang secara tiba-tiba bersama teman-temannya kilat dan guntur, semua melengkapi hari-hariku. Canda tawa keluarga di rumah itu, tangisan anak yang seolah musik klasik bagiku.
***
Setiap pagi anak itu memberiku makanan. Tangan mungilnya mengelus-elus tubuh dan telapak tanganku,  membuatku geli. Ia juga begitu perhatian pada saudara-saudaraku yang lain. Membuat tubuh kami basah kuyup seolah baru saja hujan. Bahagia terlihat dari wajahnya.
            Siang itu aku terganggu. Entah  apa yang menempel di telapak tanganku. Sepertinya akan lebih baik jika dia berada di dalam tanah dan tertangkap oleh kakiku. Ku menengok ke atas, ada sarang burung ternyata. Bentuknya cukup bagus menurutku, sarang tua itu makin eksotis dengan kekunoannya.
            Jejak langkah itu semakin jarang ku dengar. Dulu setiap pagi suara mesin dinyalakan. Kemudian, berganti menjadi suara mesin juga tetapi lebih kecil. Dan sekarang yang ku dengar hanya suara kaki yang berjalan memasuki rumah itu.
Hingga datang kegelapan  malam, terdengar dialog singkat namun bernada tinggi. Suara tangis yang sangat ku kenal itu membuatku gemetar. Sebuah teriakan keras mengundang angin berhembus kencang, hanya sekejap. Kemudian hening, tak ada suara apapun yang ku dengar. Hingga pintu rumah itu terbuka, memaksa angin berembus ke dalamnya, menerpa rambut putih laki-laki itu. benda tajam dengan sesuatu yang terus menetes di tangan kanannya. Tangan renta itu ternyata masih kuat untuk menggendong seorang wanita. Raut muka penuh amarah terlihat menemaninya melangkah menuju samping rumah itu. Persis di sebelah sumur. Kaki ku ikut bergetar ketika lapis demi lapis tanah terkupas semakin dalam. Lamat lamat ku lihat tanah itu sudah tak berlubang. Petir tiba-tiba datang dengan hujan yang amat hebat membuatku panik. Lelaki itu menghilang dan suara air yang tadi jatuh begitu deras kini hanya berupa gemericik kecil.
***
Kicauan burung menyambut pagi, dengan sinar mentari yang begitu menghangatkan diri. Menambah energi untuk ku memasak makanan hari ini. Akupun terhenyak ketika tiba-tiba anak lelaki itu keluar dari rumahnya. Duduk terpaku di tangga kecil yang menghubungkan teras rumah dengan halaman tempat aku dan saudara-saudaraku tinggal. Mukanya pucat pasi. Tubuhku yang semakin memanjang masih kalah panjang dengan tubuh anak laki-laki itu. terakhir ku lihat dia memakai celana berwarna biru. Dia melangkah pergi meninggalkanku.  Seharian aku menantikannya, ku hilangkan jenuh dengan mengisi hari-hariku dengan kawan yang berbeda genus denganku. Dia tinggal di sarang itu.
Aku sedih. Anak itu sudah tidak pernah membuat hujan buatan untukku dan teman-temanku. Langkah kakinya yang terseok-seok lebih sering ku dengar di tengah gelapnya malam. Bahkan ketika adzan subuh berkumandang. Siang itu ku lihat tubuhya semakin kecil, ringkih, hanya tinggal tulang dan kulit saja. Rumah yang dulu begitu asri kini layak untuk disebut gudang tua.
Ketika mentari begitu terik, ku dengar deruman mobil. Terlihat dua orang dengan postur tubuh yang tegap, lengan atas  yang seperti menyimpan batu membentuk suatu buah yang biasanya dihasilkan oleh teman-temanku. Buah yang ketika dimakan membuat mata berkedip-kedip. Tangan mereka persis seperti itu. Salah seorang dari mereka mengetuk pintu yang reyot itu hingga pintu itu seolah akan remuk dan hancur. Mereka masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi ku dengar teriakan suara dengan nada yang begitu tinggi, kembali memekakkan telingaku. Kemudian ku dengar langkah kaki yang begitu cepat disusul deruman mobil yang kian lama kian lenyap.
***
Siang hari ku lihat teman beda genus ku tengah termenung di sarangnya. Usianya sudah kepala empat. Dan dia tau akan apa yang terjadi ketika dia berada di tahun-tahun ini. Menunggu atau merasakan sakit yang amat dalam di tebing gunung itu. Tak jarang ku lihat saudara-saudara nya terbang dengan begitu payahnya menuju tebing itu.
Hari demi hari rumah tua itu semakin terlihat lengang. Dari jendela tak terlihat benda apapun namun tubuh ringkih itu mengguling-guling di lantai, teriakan histeris, menampakkan sakit yang amat parah. Menjerit, menangis, dan suara benturan berkali-kali ku dengar. Malam, pagi, siang, rumah tua itu menjadi penuh dengan teriakan tragis yang membuatku gemetar.
Suatu ketika, seorang remaja yang begitu teduh parasnya, melangkahkan kakinya memasuki rumah tua. Ku rasakan kesejukan ketika melihatnya. Entah apa yang mereka bicarakan di teras itu. aku tak paham. Yang ku tau anak laki-laki itu masuk ke dalam rumah lalu kembali dengan tas ransel di punggungnya. Mereka pergi meninggalkanku. Apa daya, aku hanya bisa diam di sini.
***
Elang tua itu memanggilku. Ia berpamitan untuk pergi. Ku pikir dia telah memutuskan untuk bersama saudara-saudaranya yang juga pergi ke tebing itu. tapi entah kenapa baru sekarang ia melakukannya. Ku lihat dia sering termenung sendiri sebelumnya.
Aku rindu mereka. Anak laki-laki dan elang tua itu. Aku bertanya pada angin dan air hujan. Aku pikir mereka pasti melewati rumah baru elang di tebing gunung itu. Telapak tangan teman-temanku bersama angin membawakan berbagai hal tentang elang, kawanku. Aku teringat sewaktu elang pergi, bulunya amat tebal, paruhnya sangat panjang hingga membengkok ke dadanya, cakarnya yang begitu tua, ia tampak susah payah terbang, menuju tebing itu. Hari kedua, ketiga,  keempat kunantikan kabar darinya. Hingga pada minggu kedua angin membawakan serpihan paruh burung itu. Lama ku tunggu akan ada apa lagi. Selang beberapa minggu. Angin kembali berhembus menjatuhkan cakar yang terlihat rapuh tepat di depanku. Selanjutnya ku kembali menunggu dengan beribu khayalan di kepalaku. Berpikir, bertanya, mengira-ngira. Tepat pada minggu ke-21, setiap harinya ku dapatkan bulu elang. Ku kumpulkan bulu itu dan aku tau itu bulu sahabatku.
Aku masih menunggu. Akankah aku bertemu dengan anak laki-laki dan elang itu. Namun, bagaimana dengan paruh, cakar dan bulu yang membuatku kembali gemetar. Terbayang bagian-bagian tubuh itu terpisah. Aku takut, aku sedih.
***
Seratus lima puluh hari lamanya, tubuhku makin coklat dan melebar, tanganku semakin banyak, ku rasakan kekuatanku bertambah, tak lagi terhuyung ketika angin kencang datang.
Semburat sinar mentari mengawali hari. Angin berembus pelan membawa kesejukan. Embun masih menempel di telapak tangan. Pagi yang kuharap akan membahagiakan.
Tampak dua orang yang berjalan berdampingan mengurangi jarak dan kian mendekat kepadaku. Lesung pipit itu, paras meneduhkan itu kembali menyejukkanku. Seorang laki-laki mempersilakan perempuan itu masuk dengan bahasa tubuh bak pelayan di restoran. Romantis.
Hanya selisih beberapa menit, aku kaget ketika tiba-tiba tanganku disinggahi oleh seekor burung nan gagah. Untung saja tangan ini cukup kuat untuk menopangnya melawan gaya yang cukup besar hasil  perkalian berat burung itu dengan gaya tarik bumi tempat kakiku tinggal. Paruh, cakar, tubuh dengan bulu yang begitu megah. Sepertinya dia dari keluarga burung yang kaya. Namun, hatiku bergetar ketika  ku tatap matanya. Sorot matanya begitu tajam, setajam sorot mata lelaki yang tadi masuk ke rumah tua itu. aku merasa tak asing.
Keesokan harinya, ku lihat sepasang insan manusia tengah bercanda tawa. Mereka membuat hujan buatan yang sangat ku rindukan. Membersihkan tempatku tinggal. Wanita itu berjalan membawa ember di tangan kanannya. Dengan lincah dia menarik tali yang terhubung pada katrol lalu menceburkan ember menghasilkan bunyi air yang pecah. Terlihat dia begitu susah menarik kembali tali itu, sampai berulang kali dia menarik dan menghembuskan nafas. Lalu, lelaki itu menghampiri. Membantu seorang wanita yang disebutnya dengan kata ‘istriku’. Bibir ember terlihat muncul di permukaan. Tak hanya air yang ada di dalamnya. Namun juga  kain. Wanita itu kaget dan tertawa. Lelaki itu duduk terdiam. Air matanya jatuh. Sebuah teriakan histeris ku dengar.

            Hujan, petir dan angin yang seakan mengamuk datang. Kemudian reda dan seolah semua berduka. Mengingatkanku akan hari itu. Keheningan mengawali metamorfosa. 



*Semoga menginspirasi :)

Comments

Popular posts from this blog

Nikmati saja

Favorite Page in 'My Dream Book'

Tentang Kamarku