Cerpen
Sakit nan Indah
Menunggu kematian atau memilih tuk
melalui proses transformasi yang begitu menyakitkan-suatu proses tranformasi
yang panjang . Antara berhenti atau memulai lagi.
“Aku
lelah Tuhan....cabut saja nyawaku ini”.
Air
matanya mengalir deras, sederas hujan yang turun pada malam itu, di tengah
gelap, di tengah kesendirian, sendiri fisik, pun sendiri batin. Entah apa yang harus dilakukan lagi, ketika
semuanya terasa begitu berat. Terasa beban itu terus menumpuk. Masalah itu tak
kunjung surut.
Seekor
burung elang tua terdiam di sarangnya. Umurnya sudah mencapai 40 tahun, tentu
bukan umur yang sebentar. Elang itu tengah berpikir, fisiknya begitu lemah.
Cakarnya mulai menua, paruhnya menjadi panjang dan membengkok hingga hampir
menyentuh dadanya. Sayapnya sudah sangat berat karena bulunya tumbuh lebat dan
tebal, ia pun semakin sulit untuk
terbang.
***
Pagi
itu, ia bangun , langsung menuju kamar orang tuanya.
“Ibuuu...
Ayah.... aku mau jalan-jalan naik sepeda, ayo Bu, ayo Ayah...”
“Masih
jam lima, sayang... “
“Iya
nak, ayah juga masih ngantuk nih, ntar jam 8 saja ya... “
“huft,
iya deh, tapi janji ya”
“Iyaa
sayanggg... ucap orang tuanya hampir bersamaan”.
Matahari bersinar, memancarkan
cahaya kehidupan. Tetesan embun yang menempel di dedaunan menambah eksotis
pemandangan. Bersama indahnya mentari, seorang anak laki-laki sedang menaiki
sepeda bersama ayahnya. Wajah anak ini sudah pantas untuk diikut sertakan di
kompetisi model ibu kota. Ya, anak ini tampan seperti ayahnya. Mereka pun duduk
di salah satu kursi taman, ayah ini mengusap keringat di kening anaknya, tanpa
disuruh anak itu pun meniru, mengusap keringat dengan tangan mungilnya.
“Terima
kasih Ayah, Zain sayang banget sama Ayah..”
Ayahnya
memeluknya erat,
“Sama-sama
nak, ayah juga sangat menyayangimu...” ucapnya sembari mengusap kepala anaknya.
Begitu indah melihat kebersamaan
itu, begitu putih nan tulus cinta yang ada. Ayah dan anak itupun kembali ke
rumah setelah menghabiskan hari penuh kebahagiaan.
Keesokan paginya, keluarga kecil itu pun sarapan bersama.
Seperti biasa sang Ayah mengantar anak kesayangannya ke sekolah. Menjadi
saat-saat yang sangat dinantikan oleh Zain. Selama perjalanan menuju ke sekolah
yang lumayan jauh, sang ayah bercerita tentang apa saja yang mereka lihat
sepanjang perjalanan itu. Tentang banyaknya orang yang jauh lebih susah,
banyaknya orang yang harus terus bekerja keras melawan teriknya matahari,
melawan panasnya aspal jalan, mereka mengais rezeki. Yang tak jarang, mereka
dianggap tak punya harga diri, dianggap sampah, dianggap merusak pemandangan
negeri. Entah sadar atau tidak, itu semua memiliki arti, arti yang tak semua
memahami.
Zain selalu termotivasi oleh
wejangan yang disampaikan ayahnya. Mengenai pentingnya untuk bersyukur,
menyadari hidup bukan hanya untuk diri sendiri, bukan untuk memuaskan ego yang
sejatinya tak akan pernah puas. Tidak hanya sekedar ucapan, ayahnya juga sering
mengajak Zain ke panti asuhan, rumah sakit, kawasan rumah kumuh, pasar dan tempat-tempat
yang sarat akan nilai kehidupan. Tentu saja mereka tak pernah melewatkan masjid
dalam tour itu. sebuah keluarga yang begitu indah nan harmonis. Ayah, ibu dan
seorang anak yang baik lagi tampan. Sepertinya sudah lengkap dan sempurna.
***
Senja
pun hadir, lambat laun sinar itu lenyap tak lagi menerangi kumpulan pepohonan
rindang yang tegak berdiri di ujung kampung itu. Elang itu masih saja terdiam,
merasakan sayapnya yang semakin berat. Semburat mentari seperti memberikan
energi yang aneh, seperti sebuah pelita, sebuah petunjuk. Cahaya itu selalu
mengarah ke tepian tebing itu. membuat elang merasa penasaran ada apa di
sana. tak jarang, apa yang dipikirkan
sampai terbawa dalam mimpi sang elang. Ia pun sebenarnya merasa bosan, merasa
jenuh dengan keadaan. Dia yang sudah berkepala empat hanya diam di sarang. Apa
benar ini zona nyaman? Tanya elang pada dedaunan.
***
Malam hari, seperti biasa, sang ayah
menceritakan berbagai kisah untuk mengantar tidur Zain yang terlihat begitu
nyaman di pelukan ibunya. Malam itu Zain tidur bersama orang tuanya. Berkisah
tentang sosok manusia yang menemukan tempat yang begitu indah di luar sana.
sosok manusia yang terus melangkahkan kakinya menuju tempat yang belum pernah
disinggahinya. Berbagai rintangan ia terjang. Dari longlongan macan, hingga
badai yang menerjang. Sampai di tempat dimana kebahagiaan itu tercurah begitu
melimpah. Membuat Zain bukannya tidur malah semakin bergairah, dengan tingkah
polosnya ia berdiri, dengan tangan yang mengepal, ia angkat mirip sekali dengan
seorang orator yang tengah mengobarkan semangat audiencenya.
“Ayah...Ibu...saksikanlah
aku akan menjadi manusia hebat itu, yeahhhh..” kata Zain dengan lantang.
Merekapun
lebur bersama dalam tawa kemudian lelap dalam mimpi.
***
Reruntuhan rumah, gedung, dan segala
bangunan yang ada menjadi pemandangan nan mengenaskan. Gempa 7.9 skala richter itu meratakan seluruh kota.
Setelah tiga hari dua malam, akhirnya anak itu siuman, membuka mata indahnya,
menampakkan kebingungan. Lama untuk dia memahami apa yang terjadi. Seperti
sebuah mimpi, baru semalam dia bersama kedua orang tuanya tertawa bersama, dan
kini dua malaikat itu hilang, entah di mana.
Roda itu berputar begitu cepat,
bahkan sungguh dalam sekejap semua lenyap tak berbekas. Sejak kejadian itu Zain hidup bersama anak-anak yang beberapa di
antaranya sudah dikenalnya dulu, ketika ia bersama ayahnya berkunjung ke panti
yang kini menjadi rumah tempat ia menghabiskan waktu yang datang silih
berganti.
Hari demi hari ia lewati. Seperti
namanya, Zain yang terus mecoba menghadapi hari-hari yang datang menghampiri. Tinggal di panti sejak umur 8 tahun hingga
kini ia sudah menginjak umur 18 tahun , selama waktu itu pula dia mencoba
memahami tentang apa yang telah terjadi. Sekarang, Zain sudah menjadi seorang
remaja yang tampan, seorang remaja yang banyak dikagumi teman wanitanya di
sekolah karena selain ketampanan tadi, ia juga cerdas dan punya karisma
tersendiri. Cobaan dia silih berganti, cobaan awal yang begitu besar namun dia
juga belum cukup paham, dilanjutkan dengan cobaan-cobaan kecil, berupa masalah
pertemanan, pelajaran, uang jajan, dan masalah-masalah yang sepertinya
terbilang ringan.
Suatu hari, Zain berangkat ke
sekolah seperti biasa, sekolah menengah atas. Iya, Zain sudah berada di kelas
tiga. Di depan kelas, seorang remaja
putri menatap Zain yang tengah melangkah
sembari menggendong tas di satu pundaknya, bak model yang berjalan melewati catwalk. Hampir semua mata tertuju
padanya. Cewek-cewek itu seolah melihat sosok artis ibukota ada di depan mata. Seorang
remaja putri yang sedari tadi menatapnya tiba-tiba menghentikan langkah Zain,
ia menyerahkan sebuah bingkisan berwarna biru muda untuknya. Hey, itu bukan pacarnya, itu sahabat nya,
bisa dibilang seperti adiknya sendiri. Iya, namanya Nafisa.
“Makasihh
cantikkkk..mukanya jangan sok imut gitu deh”, ucap Zain.
“Haishhh...apaan
sih lu Har, udah dikasih kado masih aja ngledek, huft.”
“Haha...
ini paling juga dari adik kelas kan? Sejak kapan lu mau ngasih gua ginian”.
Merekapun
berjalan bersama ke dalam kelas. Nafisa juga anak yatim piatu, orang tuanya
juga meninggal pada saat gempa itu. Mereka satu panti asuhan. Nafisa jugalah
yang menjadi motivasi Zain dalam menghadapi berbagai masalah hidup, mengatasi
kerinduan akan keluarga. Mereka memang sudah pantas disebut bersaudara. Sepulang sekolah, biasanya Zain selalu pulang bersama, namun
kala iu, Zain harus pulang terlebih dahulu untuk bekerja paruh waktu. Lumayan
untuk menambah tabungan, pikirnya. Zain memang sering kerja serabutan ketika ia
tak ada kegiatan. Uang yang ia dapatkan tidak serta merta untuk jajan, namun ia
tabung karna ia yakin nanti pasti bakal dibutuhkan. Namun ia juga menyelipkan
mimpi untuk bisa menaikkan haji ibu asuh di panti asuhan yang ia tinggali itu.
Bukanlah sebuah hal yang biasa, merawat anak-anak dari kecil hingga kini
dewasa, dengan sumbangan yang tak selalu ada. Ibu asuh itu pun bekerja untuk
menghidupi anak-anak asuhnya. Betapa mulianya orang ini. Itulah yang memotivasi
Zain untuk meraih sukses, ia ingin membahagiakan orang-orang yang selama ini
peduli dan sayang padanya. Zain juga tidak lupa pada Ibu dan Ayah kandungnya.
Tak henti-hentinya ia berdoa untuk mereka.
Zain
pun pulang ke panti asuhan tepat pukul 9 malam. Tak sabar ia hendak memberikan
martabak kesukaan pada ibu asuh dan juga teman-temannya. Namun ia juga membeli
satu martabak lagi yang spesial untuk adik nya, untuk Nafisa. Ia panggil Nafisa sembari mengetuk pintu kamarnya,
tak ada jawab di sana. Ia pun menanyakan pada Ibu asuh dan lainnya, namun semua
mengira Nafisa bersamanya seharian. Zain kaget bukan kepalang, tidak biasanya
Nafisa seperti ini. Seketika itu bingkisan martabak itu jatuh, Zain berlari
keluar, berlari kencang, hatinya seperti berteriak jangan sampai dia kehilangan
orang yang dia sayang, jangan sampai ia ditinggalkan untuk ke sekian kalinya.
Ia begitu takut. Zain panik, dia menanyakan pada semua penjual di sepanjang
jalan menuju sekolah ataupun jalan yang biasa dilewati oleh Nafisa. Namun, tak
ada yang tau, Zain benar-benar panik, ia tak sabar untuk lapor pada polisi,
hingga ia tidak tidur semalaman, pagi buta ia menuju kantor polisi. Meminta
bantuan aparat-aparat itu untuk menemukan Nafisa.
24
jam, 48 jam, 72 jam, 3 hari, 7 hari, 3 minggu, 4 minggu, hingga bulan
berikutnya, Nafisa belum juga ditemukan. Nafisa hilang.
Sejak
itu, Zain seakan kehilangan motivasi, ia murung, ia lemah, ia tak seperti Zain
yang dulu. Pesonanya seakan berkurang, Zain menjadi sosok yang biasa di
sekolahnya, atau bahkan lebih buruk dari yang biasa. Ia menjadi pembolos, tak
lulus-lulus, siswa abadi kah ia? Guru-gurupun tak bisa berbuat apa-apa, mereka
hanya geleng-geleng kepala. Segala upaya sudah mereka coba. Berharap Zain
kembali menjadi Zain yang berprestasi dan bersemangat seperti sedia kala.
Sepulang sekolah, Zain yang tengah berjalan bersama teman-teman satu sekolahnya
dihadang siswa sekolah lain. Mereka tawuran.
Zain juga ikut dalam tawuran itu, seakan ini menjadi ajang pelampiasan atas segala masalah di hidupnya, ia
lampiaskan kesedihan, kejenuhan, bahkan kesalahan nya pada tindakan yang juga
merupakan kesalahan ini. Tak
tanggung-tanggung, para remaja itu membawa senjata seperti batang besi, clurit,
dsb. Sungguh rusak moral pemuda negeri ini. Zain dengan tangan hampa memukul wajah
lawannya, hingga ia jatuh terkapar. Tiba-tiba dari balik punggungnya seorang
remaja hendak memukul Zain, Zain dengan sigap menghindar. Ketika itu juga Zain
kehilangan keseimbangan lalu terjatuh, remaja yang tadi membawa batang besi
seketika mengayunkan nya tepat pada tulang kering Zain.
“Ahhhhhhhhhhhh..........................”teriak
Zain histeris.
Melihat
itu, tawuran itu semakin menjadi, sedangkan beberapa di antara mereka langsung
membopong Zain dan membawanya menuju rumah sakit terdekat, tepat pada saat
polisi datang.
Kaki Zain remuk, dan divonis tidak
akan bisa berjalan. Entah, sepertinya Zain semakin merasa lemah tak berdaya.
Keterpurukan sejak hilangnya Nafisa, keterpurukan pendidikannya, keterpurukan
kehidupannya, hingga sekarang kelumpuhannya.
Zain bingung kiranya siapa yang membayar biaya rumah sakit ini. Ah,
mungkin Ibu asuh yang sangat baik itu. sudah 7 hari Zain berada di rumah sakit.
Dengan kaki kanannya yang masih sakit ia ingin memakai tongkat bantu, ia ingin
melihat dunia luar menghilangkan kejenuhan. Sangat sulit, ia merasa begitu sakit saat
mencoba bertumpu hanya pada satu kaki, dan kakinya yang remuk itu sungguh
seperti tengah tertindas truk baja.
Sakitt. Zain pun terjatuh, ia tak kuat menahan rasa sakit itu. tiba-tiba
seorang laki-laki paruh baya masuk dan membantu Zain. Lelaki ini mengingatkan Zain
akan sosok ayahnya. Ketika ayahnya dulu menolongnya ketika jatuh dari sepeda. Zain
menatapnya begitu dalam.
“Kamu
tidak apa-apa nak?” kata lelaki itu.
“Oh,
emmm...itu Pak, ndak papa Pak, ini salah
saya tadi tidak hati-hati” jawab Zain dengan gugup.
Lelaki
itu pun mengobrol banyak dengan Zain. Dari situlah Zain tau kalau beliau lah
yang membantu biaya rumah sakitnya. Lelaki itu donatur baru di panti asuhan. Keesokan
harinya, Ibu asuh menjenguk Zain, dan menceritakan bahwa Lelaki paruh baya itu
adalah seorang pemilik perusahaan multinasional, namun beliau sungguh dermawan.
“Beliau akan menjadi donatur tetap untuk panti asuhan kita” .
Zain menjalani hari-harinya dengan
hanya satu kaki yang normal. Ia membantu Ibu asuh di panti asuhan dan membantu
berjualan kue di depan sekolah. Tidak hanya sakit fisik, ia pun sakit batin
ketika harus melihat teman-temannya sekolah, bercanda tawa, dan ia harus duduk
sembari berjualan, dan tak jarang diejek oleh anak-anak nakal yang lewat di
depannya. Zain tidak lagi bersekolah.
Setelah berjualan kue hingga tengah hari, ia kemudian menuju halaman depan
sebuah toko serba ada. Ia beralih menjadi tukang parkir. Sorenya, ia masih
bekerja, menjual jajanan kecil di taman kota. Ironisnya, bukan banyak pembeli
yang datang, tapi orang-orang yang meletakkan koin-koin rupiah di atas
jajanan-jajanan itu. mereka menganggap Zain tengah mengemis. Zain merasakan
kesedihan yang amat mendalam, dan ini terjadi setiap hari. Hingga hari ke 150, Zain
merasakan sedih yang amat dalam, ketika itu tepat tanggal dimana gempa itu
terjadi, ketika itu juga ia diejek habis-habisan oleh remaja-remaja yang dulu
lawan tawurannya. Dagangannya diobrak-abrik, uangnya dirampas, bahkan kaki nya
yang sudah remuk itu diinjak oleh remaja-remaja
tak bermoral itu. Malam itu hujan turun deras sekali. Dengan langkah
kaki yang terseok-seok Zain mencoba untuk berjalan. Iya... sakit sekali, sangat
sakit.
“Aku
lelah Tuhan....cabut saja nyawaku ini”.
Air
matanya mengalir deras, sederas hujan yang turun pada malam itu, di tengah
gelap, di tengah kesendirian, sendiri fisik, pun sendiri batin. Entah apa yang harus dilakukan lagi, ketika
semuanya terasa begitu berat. Terasa beban itu terus menumpuk. Masalah itu tak
kunjung surut.
Dalam
sakit itu, Zain melangkah menuju suatu bangunan yang megah.
***
Elang yang bertanya pada dedaunan
itu, ia merasa lelah akan hidupnya,
lelah dengan kelemahannya. Antara
menunggu kematiannya atau memutuskan
untuk mengambil pilihan dengan risiko yang cukup tinggi nan menyakitkan. Sangat
sulit baginya untuk terbang dengan sayapnya yang semakin berat. Paruh yang
panjang dan bengkok hampir menyentuh dada, cakar yang menua, rapuh. Ia menuju suatu tempat. elang terus berusaha
keras untuk terbang ke atas puncak gunung dan kemudian membuat sarang di tepi
jurang itu. Tempat dimana sinar mentari itu menuju, elang ke sana dengan
perjuangan yang tidak lah mudah. Ia tinggal di tepi jurang itu, ia hendak
bertransformasi.
Elang memulai proses transformasi panjangnya.
Ia mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dari
mulutnya, kemudian berdiam beberapa lama menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan
paruh yang baru tumbuh itu , ia harus mencabut satu per satu cakar-cakarnya.
Dan ketika cakar yang baru sudah tumbuh ia akan mencabuti bulu badannya satu
demi satu. Sebuah proses yang panjang dan menyakitkan.
***
Zain sampai di sebuah masjid. Ia
tersenyum ketika bertemu dengan seorang marbot masjid, lalu seketika itu ia
pingsan. Keesokan harinya, Zain
menceritakan semua kisah hidupnya pada sang marbot. Sejak itu, Zain tinggal di
masjid, mengikuti bimbingan sebagai marbot di masjid. Selama itu pula, kakinya dilatih untuk
berjalan normal tanpa tongkat bantu. Zain merasa sangat beruntung bertemu
marbot masjid ini, ia begitu baik, sholeh, dan ia juga tak jenuh membimbing Zain,
bahkan membantu proses penyembuhan kaki Zain. Zain dilatih berjalan, dituntun
selangkah demi selangkah. Setiap kali dilatih berjalan, Zain merasakan sakit
tak terkira. Namun sang marbot terus menyemangatinya. “Allah tidak akan
memberikan cobaan melainkan sesuai dengan kesanggupan hamba-Nya, Zain...” kata
Sang marbot yang sungguh baik itu.
Lima bulan kemudian, bulu-bulu elang
yang baru sudah tumbuh. Elang mulai dapat terbang kembali. Dengan paruh dan
cakar baru, elang tersebut mulai menjalani 30 tahun kehidupan barunya dengan
penuh energi. Setelah lima bulan juga, Zain memberanikan diri untuk berjalan
lebih cepat dari saat dia latihan berjalan. Ketika itu dia jatuh, di halaman
masjid itu. Saat ia berusaha keras untuk bangkit, dan saat dimana ia rasakan
begitu sakit. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di halaman masjid itu,tepat di
depannya. Keluarlah seorang lelaki paruh baya yang ia kenal sebagai donatur
itu. Beliau tidak sendiri, pintu samping kiri mobil terbuka, dan seorang
perempuan cantik, anggun, nan shalihah dengan jilbab panjangnya menghampiri Zain.
Zain bangkit dan sebuah keajaiban Tuhan terjadi. Ia tak merasakan sakit sama
sekali, berjalan menuju lelaki paruh baya dan perempuan itu.
“Zain,
perkenalkan ini anak Bapak, namanya Nafisa”.
Bogor, Maret 2015
Comments
Post a Comment