SHARING #2

                                                       sumber: https://rifay.files.wordpress.com

Kali ini ana sharing mengenai kegiatan yang telah ana alami, bukan lomba, bukan konferensi, bukan seminar, melainkan kegiatan sehari-hari yang juga adalah hobi, yakni membaca. Jadi ana lagi baca buku yang dari duluuuuu banget (sejak masa tingkat persiapan bersama IPB) ana pengen. Alhamdulillah, sekarang udah punya bukunya, judulnya “Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk”.
Iya buah karya Ahmad Rifai Rifan, maasyaa Allah.. buku-buku beliau slalu ngena, ngena banget, ampe nangis, yang “The Perfect Muslimah” manjur banget bikin ana hijrah ^^ hehe, alhamdulillah yang ini ga kalah badai ^^
Nah, di tengah-tengah asyiknya membaca, ana sampai di halaman 293 Bagian 4, judul  sub bagiannya “Kontribusi, Tak Sekadar Prestasi”
Ana merasa ini harus banget wajib banget untuk dishare ^^
So, Check this out....


Sebut saja pemuda ini bernama Arif. Di pertengahan Ramadhan dia melakukan perjalanan dari Surabaya menuju Jakarta untuk memenuhi undangan bedah buku dari sebuah perusahaan. Ia lebih memilih untuk naik kereta bisnis ketimbang pesawat.
Kereta siap diberangkatkan dari stasiun Gubeng Surabaya tepat pukul 16.00. Ia pun segera duduk sesuai dengan nomor kursi yang dipesannya. Tak sengaja, ternyata ia duduk bersebelahan dengan seorang ibu berusia lanjut. Sekitar enam puluh tahunan. Arif pun berbasa-basi.
“Ibu turun Jakarta?” tanya Arif seraya memekarkan senyum yang santun.
Ibu itu pun tersenyum menanggapi, “Iya, Nak. Turun Pasar Senen.”
“Ibu bekerja, atau...”
“Bukan, Nak! Mau mengunjungi anak-anak Ibu.”
Oh, anak Ibu tinggal di Jakarta?”
“Iya, Nak. Anak kedua dan ketiga Ibu tinggal di Jakarta”
“Oh, begitu. Sudah bekerja atau...”
“Iya, Nak, anak kedua Ibu masih kuliah S3 di UI, sedangkan yang anak ibu yang ketiga jadi dosen di UI juga.”
Subhanallah, pasti Ibu sangat bangga punya anak-anak yang sukses seperti mereka. Oh, iya, Bu, anak pertama Ibu?’
Tiba-tiba wajah Ibu itu sendu. Tak lama, butiran bening mengalir di kelopak matanya.
“Anak pertama Ibu tetap tinggal di kampung, menggarap sepetak tanah warisan almarhum Bapaknya. Dia hanya lulusan SMP, Nak!”
Wajah Arif pun mendadak merasa menyesal telah bertanya demikian. “Maaf, Bu. Saya sudah membuat Ibu sedih. Mungkin Ibu sedih karena anak pertama Ibu tidak bisa seperti adik-adiknya.”
Oh, bukan! Bukan, Nak! Justru Ibu sangat bangga kepada anak ibu yang pertama. Karena dialah yang memotivasi adik-adiknya supaya tetap melanjutkan sekolahnya. Dialah yang bekerja keras, peras keringat banting tulang untuk membiayai kuliah adik-adiknya. Dia yang tiap bulan mengirimi surat adik-adiknya di kota, menanyakan kabar, seperti sekarang ini. Dialah putra yang sangat membanggakan di mata ibu dan adik-adiknya.”

Tak Sekadar Prestasi

Saudaraku, kata prestasi telah mengalami penyempitan makna seiring penghargaan yang berlebihan terhadap kualitas kerja, kelancaran karier, pangkat yang tinggi, tingkat pendidikan, deret gelar, serta tingkat IQ seseorang. Kita lebih mudah menjumpai apresiasi terhadap prestasi akademik seseorang daripada penghargaan terhadap perjuangan dalam bidang sosial atau hak asasi manusia (HAM) misalnya. Sehingga akan tetap ditulis dengan tinta emas bagi pelajar atau mahasiswa yang memenangkan olimpiade mata pelajaran tertentu, peraih indeks prestasi akademik terbaik, juara karya ilmiah, meskipun tidak pernah mengenal tetangga sebelah rumahnya. Meskipun ia tak mau tahu di depan kampusnya ada ketimpangan sosial. Yang penting belajar dengan rajin, kuliah dengan serius, praktikum dengan lancar, Indeks Prestasi bagus, lulus cepat, dapat kerja di perusahaan bonafide, makmurlah hidupnya.

Mungkin kita masih ingat tragedi turunnya rezim Orde Baru. Mahasiswa menunjukkan taringnya dalam momentum ini. Ketika dunia akademik memaknai prestasi adalah bidang akademik, maka sungguh komponen gerakan mahasiswa yang bisa menjatuhkan rezim Soeharto itu bukanlah mahasiswa cerdas berotak encer. Jika ukuran kecerdasan adalah IPK, maka mereka sungguh jauh dari kategori cerdas. Masuk kuliah saja jarang-jarang kok mau IPK bagus. Bahkan ada di antara mereka yang harus di-DO karena kehabisan waktu studi di kampus. Hari-harinya sudah terlanjur digadaikan untuk rapat-rapat aksi, merancang gerakan massa, menggalang kekuatan dari kampus ke kampus. Mereka harus iuran untuk membiayai kegiatan. Kalau perlu ngamen di kantin kampus. Hasilnya bisa dipakai keliling untuk konsolidasi. Karena kampus tidak akan sudi membiayai aktivitas semacam itu sekali pun proposalnya dibuat rangkap tiga bahasa.

Lalu untuk apa mereka melakukan “hal bodoh” semacam itu? untuk siapa mereka korbankan masa depan mereka sendiri? Untuk apa mereka berorasi di terik matahari yang menyengat dengan begitu bersemangat? Apa yang menggerakkan mereka untuk melakukan itu semua? Saya masih yakin bahwa senyum tulus kebahagiaan yang ditemani mata gerimis dari kaum tertindas menjadi penghargaan dan apresiasi paling fenomenal di hati mereka.

Kontribusi, tak sekadar prestasi. Kembali mari kita renungkan kisah yang saya tulis di atas. Dalam pandangan awam, anak kedua dan ketigalah yang dirasa telah sukses. Dalam pandangan masyarakat kita, anak kedua dan ketigalah yang dianggap memiliki prestasi tinggi. Sedangkan anak pertama dianggap sebagai generasi yang prestasinya rendah. Bahkan tidak berprestasi. Mengapa? Karena prestasi dinilai dari deret gelar, dari capaian akademis. Bukan dilihat dari kontribusi. Padahal di mata ibu dan adik-adiknya, anak pertamalah sang pahlawan sejati. Yang senantiasa berusaha untuk memberi, dan tersenyum memandangi adik-adiknya sukses di kota besar, meski ia tetap bekerja dengan cangkulnya di sawah.

(Dalam Buku “Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk”)

Semoga menambah semangat ^^

Limpung, 8 agustus 2016
22:06

AF

Comments

  1. Nice sharing :D
    Ditunggu tulisan travellingnya, An :p Kwkw.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah...hehe iya ukh, baru yg episode Malaysia ^^

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Nikmati saja

Favorite Page in 'My Dream Book'

Tentang Kamarku